Kamis, 10 Mei 2012

Menyebar Ilmu Kewirausahaan

SEBUAH pengalaman hidup menorehkan kesan mendalam pada pendiri UKMku, Wulan Ayodya. Ia tersadar bahwa dirinya harus melakukan sesuatu untuk orang banyak. Ia memilih dunia pendidikan untuk membaktikan diri kepada masyarakat.

UKMku adalah singkatan dari usaha kecil menengahku yang merupakan lembaga pelatihan kewirausahaan. Dalam pelatihan itu, peserta kursus diajak untuk berpikir di luar kotak sehingga bisa membuka bisnis dengan biaya ekonomis.

Mereka juga diajari cara mengatur perusahaan, termasuk cara mengatur keuangan perusahaan sehingga mencapai target yang diinginkan. Paket pengajaran juga memasukkan pelatihan keterampilan sehingga mereka punya modal saat memutuskan membuka usaha.

“Awalnya enggak hanya ngajar kuliner, tapi ada menjahit dan lain-lain. Belakangan kelas kerajinan itu kurang diminati. Pesertanya sedikit, sedangkan peserta kelas kuliner semakin membeludak. Hingga sekarang UKMku ini jadi identik dengan pelatihan usaha kuliner,” kata Wulan saat ditemui di tempat pelatihan sekaligus tempat tinggalnya di Cirendeu, Jakarta Selatan, Rabu (9/5) malam.

Dasar ilmu mengajar Wulan didapatkan secara tak sengaja. Ia dipaksa temannya, Pitra Sarosa, staf Rhenald Kasali Management, untuk mengisi kelas kewirausahaan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbankan pada 2003. Keengganannya mengajar karena merasa tak mampu.

Setelah menjalani aktivitas mengajar, ia malah ketagihan. Ia akhirnya memutuskan membuka kursus kewirausahaan pertama kali pada 2006 dengan nama Wirausaha Training Center di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Pada 2007, ia memindahkan lokasi kursus ke rumahnya di pinggiran Jakarta.

"Konsepnya ialah tempat pelatihan bagi masyarakat, terutama bidang manajemen usaha. Dari sisi itu ada penjelasan ilmiah mengenai usaha mereka. Tapi tidak menarik. Lalu, setelah bicara dengan pemula yang mau buka usaha itu, teori itu ternyata enggak terlalu menarik. Digantilah konsepnya sekaligus namanya jadi UKMku,” tutur ibu tiga anak ini.

Perubahan konsep berimbas pada cara pengajaran. Ia tak melulu membahas soal konsep bisnis dari kacamata ilmiah, tetapi menambahkan materi peningkatan keterampilan. Ia juga menyederhanakan bahasa akademik agar bisa diterima peserta kursus. Cara itu dirasa lebih komunikatif mengingat latar belakang muridnya beragam.

“Dulu sih banyak teman akademisi protes. Mereka tanya kok kenapa sih jadi kesannya kurang berbobot. Ternyata, menyederhanakan itu sulit. Misalnya, manajemen keuangan saja. Bahasa sederhana itu digunakan supaya mereka tidak merasa digurui, tapi efektif bagi mereka agar tahu cara pembukuan yang baik dan benar,” sahut perempuan yang besar di Yogyakarta itu.

Terobosannya ternyata efektif menjaring peminat. Padahal, lokasi kursusnya cukup sulit dicari. Tak jarang orang tersasar menuju lokasi itu. Meski demikian, jumlah muridnya kini mencapai ribuan orang. Di antara mereka sudah ada yang berhasil.

Beberapa ada yang menjadi juragan roti atau juragan donat. Ada pula yang berbisnis di bidang mi ayam. Bisnis kuliner ini, diakui Wulan, merupakan hasrat bisnisnya meski bisnis utamanya kini kebanyakan di bidang jasa, seperti SPBU dan transportasi.

“Apa mungkin karena saya suka makan, ya? Jadi, materi itu berdasarkan uji coba yang panjang. Kita enggak pernah ambil resep orang. Semua diciptakan dan diuji coba sendiri. Mungkin karena saya pernah berlatar belakang usaha kuliner, getuk dan sebagainya, jadi tahu bagaimana buat makanan murah meriah tapi untungnya gede,” jelas dia diselingi tawa.

Berbisnis sejak kecil
Ilmu yang disampaikan Wulan bukan hanya teori. Ia memang melakoni usaha berjualan getuk sejak kelas 1 SMP. Ia melakukannya untuk mendapat uang jajan dan uang sekolah karena kondisi keluarga susah. Sejak itu, ia mengambil segala peluang bisnis yang ditawarkan kepadanya. Ia pernah menanamkan saham pada 12 perusahaan yang berbeda pada 1999 hingga menghantarkannya pada keterpurukan.

Ketidakhati-hatian itu karena ia berpikir ingin cepat kaya dan pensiun dini. Namun, nafsunya membuat ia tak meneliti usaha yang akan diinvestasikan. Ke-12 perusahaan itu merugi hingga ia harus menjual sejumlah aset. Yang tersisa hanyalah rumah sebagai tempat tinggal.

Dengan mental yang kuat, kehilangan itu dianggap hal yang lumrah. Ia perlu meniti usahanya dulu guna mengembalikan kondisi. Ia pun bernazar jika bisa mengembalikan situasi ke kondisi normal, ia akan menyebarkan ilmunya kepada orang lain. Doanya terkabul dan kehidupannya kini lebih berisi.

“Saya sadar, ternyata kalau mau jalankan usaha itu harus berdasarkan passion supaya ngejalaninnya senang,” cetusnya.

Skala ekonomis
Tidak semua orang yang berniat menjadi usahawan bersedia mengeluarkan modal dalam jumlah besar. Hal tersebut disadari Wulan. Maka itu, ia punya prinsip bahwa mereka yang mau berusaha mulailah dengan skala kecil terlebih dahulu. Selain untuk meminimalkan risiko kerugian, usahawan baru bisa mengasah kepercayaan diri. Jika skala kecil ini mantap, barulah mereka bisa mengembangkannya ke skala yang lebih tinggi.

Kesadaran itu ia terapkan pada kelas yang dibukanya. Ia menyediakan solusi yang aplikatif bagi mereka yang mau membuka usaha dengan modal minim. Sejumlah tips penting disesuaikan dengan bidang usaha yang akan dijalani.

“Kita pakai alat sederhana. Saat kita belajar, kita juga diskusi dengan mereka. Para pengajar kita hafal trik-trik itu. Untuk bahan, kita juga nyari merek yang banyak di pasaran karena murid saya enggak hanya dari Jakarta, tapi juga dari luar kota. Kalau enak tapi bahannya susah didapat kan repot. Ketika dimasak enak, harus bisa dijual. Jadi, prinsipnya murah, enak, bahannya gampang dicari, dan untungnya gede,” tukas dia. (M-5)

dinny@mediaindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar