SEBUAH pengalaman hidup menorehkan kesan mendalam pada pendiri UKMku,
Wulan Ayodya. Ia tersadar bahwa dirinya harus melakukan sesuatu untuk
orang banyak. Ia memilih dunia pendidikan untuk membaktikan diri kepada
masyarakat.
UKMku adalah singkatan dari usaha kecil menengahku yang merupakan
lembaga pelatihan kewirausahaan. Dalam pelatihan itu, peserta kursus
diajak untuk berpikir di luar kotak sehingga bisa membuka bisnis dengan
biaya ekonomis.
Mereka juga diajari cara mengatur perusahaan, termasuk cara mengatur
keuangan perusahaan sehingga mencapai target yang diinginkan. Paket
pengajaran juga memasukkan pelatihan keterampilan sehingga mereka punya
modal saat memutuskan membuka usaha.
“Awalnya enggak hanya ngajar kuliner, tapi ada menjahit dan
lain-lain. Belakangan kelas kerajinan itu kurang diminati. Pesertanya
sedikit, sedangkan peserta kelas kuliner semakin membeludak. Hingga
sekarang UKMku ini jadi identik dengan pelatihan usaha kuliner,” kata
Wulan saat ditemui di tempat pelatihan sekaligus tempat tinggalnya di
Cirendeu, Jakarta Selatan, Rabu (9/5) malam.
Dasar ilmu mengajar Wulan didapatkan secara tak sengaja. Ia dipaksa
temannya, Pitra Sarosa, staf Rhenald Kasali Management, untuk mengisi
kelas kewirausahaan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbankan pada 2003.
Keengganannya mengajar karena merasa tak mampu.
Setelah menjalani aktivitas mengajar, ia malah ketagihan. Ia
akhirnya memutuskan membuka kursus kewirausahaan pertama kali pada 2006
dengan nama Wirausaha Training Center di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Pada 2007, ia memindahkan lokasi kursus ke rumahnya di pinggiran
Jakarta.
"Konsepnya ialah tempat pelatihan bagi masyarakat, terutama bidang
manajemen usaha. Dari sisi itu ada penjelasan ilmiah mengenai usaha
mereka. Tapi tidak menarik. Lalu, setelah bicara dengan pemula yang mau
buka usaha itu, teori itu ternyata enggak terlalu menarik. Digantilah
konsepnya sekaligus namanya jadi UKMku,” tutur ibu tiga anak ini.
Perubahan konsep berimbas pada cara pengajaran. Ia tak melulu
membahas soal konsep bisnis dari kacamata ilmiah, tetapi menambahkan
materi peningkatan keterampilan. Ia juga menyederhanakan bahasa akademik
agar bisa diterima peserta kursus. Cara itu dirasa lebih komunikatif
mengingat latar belakang muridnya beragam.
“Dulu sih banyak teman akademisi protes. Mereka tanya kok kenapa sih
jadi kesannya kurang berbobot. Ternyata, menyederhanakan itu sulit.
Misalnya, manajemen keuangan saja. Bahasa sederhana itu digunakan supaya
mereka tidak merasa digurui, tapi efektif bagi mereka agar tahu cara
pembukuan yang baik dan benar,” sahut perempuan yang besar di Yogyakarta
itu.
Terobosannya ternyata efektif menjaring peminat. Padahal, lokasi
kursusnya cukup sulit dicari. Tak jarang orang tersasar menuju lokasi
itu. Meski demikian, jumlah muridnya kini mencapai ribuan orang. Di
antara mereka sudah ada yang berhasil.
Beberapa ada yang menjadi juragan roti atau juragan donat. Ada pula
yang berbisnis di bidang mi ayam. Bisnis kuliner ini, diakui Wulan,
merupakan hasrat bisnisnya meski bisnis utamanya kini kebanyakan di
bidang jasa, seperti SPBU dan transportasi.
“Apa mungkin karena saya suka makan, ya? Jadi, materi itu
berdasarkan uji coba yang panjang. Kita enggak pernah ambil resep orang.
Semua diciptakan dan diuji coba sendiri. Mungkin karena saya pernah
berlatar belakang usaha kuliner, getuk dan sebagainya, jadi tahu
bagaimana buat makanan murah meriah tapi untungnya gede,” jelas dia
diselingi tawa.
Berbisnis sejak kecil
Ilmu yang disampaikan Wulan bukan hanya teori. Ia memang melakoni
usaha berjualan getuk sejak kelas 1 SMP. Ia melakukannya untuk mendapat
uang jajan dan uang sekolah karena kondisi keluarga susah. Sejak itu, ia
mengambil segala peluang bisnis yang ditawarkan kepadanya. Ia pernah
menanamkan saham pada 12 perusahaan yang berbeda pada 1999 hingga
menghantarkannya pada keterpurukan.
Ketidakhati-hatian itu karena ia berpikir ingin cepat kaya dan
pensiun dini. Namun, nafsunya membuat ia tak meneliti usaha yang akan
diinvestasikan. Ke-12 perusahaan itu merugi hingga ia harus menjual
sejumlah aset. Yang tersisa hanyalah rumah sebagai tempat tinggal.
Dengan mental yang kuat, kehilangan itu dianggap hal yang lumrah. Ia
perlu meniti usahanya dulu guna mengembalikan kondisi. Ia pun bernazar
jika bisa mengembalikan situasi ke kondisi normal, ia akan menyebarkan
ilmunya kepada orang lain. Doanya terkabul dan kehidupannya kini lebih
berisi.
“Saya sadar, ternyata kalau mau jalankan usaha itu harus berdasarkan passion supaya ngejalaninnya senang,” cetusnya.
Skala ekonomis
Tidak semua orang yang berniat menjadi usahawan bersedia
mengeluarkan modal dalam jumlah besar. Hal tersebut disadari Wulan. Maka
itu, ia punya prinsip bahwa mereka yang mau berusaha mulailah dengan
skala kecil terlebih dahulu. Selain untuk meminimalkan risiko kerugian,
usahawan baru bisa mengasah kepercayaan diri. Jika skala kecil ini
mantap, barulah mereka bisa mengembangkannya ke skala yang lebih tinggi.
Kesadaran itu ia terapkan pada kelas yang dibukanya. Ia menyediakan
solusi yang aplikatif bagi mereka yang mau membuka usaha dengan modal
minim. Sejumlah tips penting disesuaikan dengan bidang usaha yang akan
dijalani.
“Kita pakai alat sederhana. Saat kita belajar, kita juga diskusi
dengan mereka. Para pengajar kita hafal trik-trik itu. Untuk bahan, kita
juga nyari merek yang banyak di pasaran karena murid saya enggak hanya
dari Jakarta, tapi juga dari luar kota. Kalau enak tapi bahannya susah
didapat kan repot. Ketika dimasak enak, harus bisa dijual. Jadi,
prinsipnya murah, enak, bahannya gampang dicari, dan untungnya gede,”
tukas dia. (M-5)
dinny@mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar